Postingan

KEDUDUKAN, FUNGSI SERTA IMPLEMENTASI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

A.  Pancasila sebagai Dasar Negara
Sebagai dasar negara, Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era reformasi sekarang. Pada bulan Juni 1945. 66 tahun yang lalu, lahirlah sebuah konsepsi kenengaraan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila.
Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu 
dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang jelas tadi telah diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik Indonesia. Pancasila telah ada dalam segala bentuk kehidupan rakyat Indonesia, terkecuali bagi mereka yang tidak Pancasilais. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah, Mr Mohammad Yamin, Prof Mr Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu pertama ialah karena secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi.
Kedua, Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat mencakup faham-faham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham lain yang positif tersebut mempunyai keleluasaan yang cukup untuk memperkembangkan diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan nilai serta norma yang bertentangan, pasti akan ditolak oleh Pancasila, misalnya Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak beragama akan ditolak oleh bangsa Indonesia yang bertuhan dan ber-agama.
Diktatorisme juga ditolak, karena bangsa Indonesia berprikemanusiaan dan berusaha untuk berbudi luhur. Kolonialisme juga ditolak oleh bangsa Indonesia yang cinta akan kemerdekaan. Sebab yang keempat adalah, karena bangsa Indonesia yang sejati sangat cinta kepada Pancasila, yakin bahwa Pancasila itu benar dan tidak bertentangan dengan keyakinan serta agamanya.
Dengan demikian bahwa falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia yang harus diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga dan menjalankan apa-apa yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya pahlawan proklamasi yang telah berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini. Sehingga baik golongan muda maupun tua tetap meyakini Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tanpa adanya keraguan guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia. Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia. Maka Pancasila merupakanintelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik … Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …” Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu,Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Maha esa” sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Isi Pembukaan UUD 1945 adalah nilai-nilai luhur yang universal sehingga Pancasila di dalamnya merupakan dasar yang kekal dan abadi bagi kehidupan bangsa. Gagasan vital yang menjadi isi Pancasila sebagai dasar negara merupakan jawaban kepribadian bangsa sehingga dalam kualitas awalnya Pancasila merupakan dasar negara, tetapi dalam perkembngannya menjadi ideologi dari berbagai kegiatan yang berimplikasi positif atau negatif.
Nilai-nilai luhur yang telah dipupuk sejak pergerakan nasional kini telah tersapu oleh kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Orde Lama mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara tidak sebagai sesuatu substantif, melainkan di-instumentalisasi-kan sebagai alat politik semata. Demikian pula di Orde Baru yang “berideologikan ekonomi”, Pancasila dijadikan asas tunggal yang dimanipulasikan untuk KKN dan kroni-isme dengan mengatasnamakan sebagai Mandatoris MPR. Kini terjadi krisis politik dan ekonomi karena pembangunan menghadapi jalan buntu. Krisis moral budaya juga timbul sebagai implikasi adanya krisis ekonomi. Masyarakat telah kehilangan orientasi nilai dan arena kehidupan menjadi hambar, kejam, gersang dalam kemiskinan budaya dan kekeringan spiritual. Pancasila malah diplesetkan menjadi suatu satire, ejekan dan sindiran dalam kehidupan yang penuh paradoks.
Pembukaan UUD 1945 dengan nilai-nilai luhurnya menjadi suatu kesatuan integral-integratif dengan Pancasila sebagai dasar negara. Jika itu diletakkan kembali, maka kita akan menemukan landasan berpijak yang sama, menyelamatkan persatuan dan kesatuan nasional yang kini sedang mengalami disintegrasi. Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara mengandung makna bahwa Pancasila harus diletakkan utuh dengan pembukaan, di-eksplorasi-kan dimensi-dimensi yang melekat padanya, yaitu : Realitasnya: dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikonkretisasikan sebagai kondisi cerminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dlam masyarakat. Idealitasnya: dalam arti bahwa idealisme yang terkandung di dalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobjektivasikan sebagai “kata kerja” untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari esok lebih baik. Fleksibilitasnya: dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan mandeg dalam kebekuan oqmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang berkembang. Dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya, Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan semangat “Bhinneka tunggal Ika”
Revitalisasi Pancasila Pancasila sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan moral, sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan sebagai dasar dan arah dalam upaya mengatasi krisis dan disintegrasi. Moralitas juga memerlukan hukum karena keduanya terdapat korelasi. Moralitas yang tidak didukung oleh hukum kondusif akan terjadi penyimpangan, sebaliknya, ketentuan hukum disusun tanpa alasan moral akan melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Dalam upaya merevitalisasi Pancasila sebagai dasar negara maka disiapkan lahirnya generasi sadar dan terdidik. Sadar dalam arti generasi yang hati nuraninya selalu merasa terpanggil untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila, terdidik dalam arti generasi yang mempunyai kemampuan dan kemandirian dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai sarana pengabdian kepada bangsa dan negara. Dengan demikian akan dimunculkan generasi yang mempunyai ide-ide segar dalam mengembangkan Pancasila.
Hanya dengan pendidikan bertahap dan berkelanjutan, generasi sadar dan terdidik akan dibentuk, yaitu yang mengarah pada dua aspek. Pertama, pendidikan untuk memberikan bekal pengetahuan dan pengalaman akademis, ketrampilan profesional, dan kedalaman intelektual, kepatuhankepada nilai-nilai (it is matter of having). Kedua, pendidikan untuk membentuk jatidiri menjadi sarjana yang selalu komitmen dengan kepentingan bangsa (it is matter of being). Bangsa Indonesia dihadapkan pada perubahan, tetapi tetap harus menjaga budaya-budaya lama. Sekuat-kuatnya tradisi ingin bertahan, setiap bangsa juga selalu mendambakan kemajuan. Setiap bangsa mempunyai daya preservasi dan di satu pihak daya progresi di lain pihak. Kita membutuhkan telaah-telaah yang kontekstual, inspiratif dan evaluatif.
Perevitalisasikan Pancasila sebagai dasar negara dalam, kita berpedoman pada wawasan:
  1. Spiritual, untuk meletakkan landasan etik, moral, religius sebagai dasar dan arah pengembangan profesi
  2. Akademis, menunjukkan bahwa MKU Pancasila adalah aspek being, tidak sekedar aspek having
  3. Kebangsaan, menumbuhkan kesadaran nasionalisme
  4. Mondial, menyadarkan manusia dan bangsa harus siap menghadapi dialektikanya perkembangan dalam mayaraka dunia yang “terbuka”.

B. Beberapa Tahapan Perubahan Pancasila
Pancasila bertolak belakang dengan kapitalisme ataupun komunisme. Pancasila justru merombak realitas keterbelakangan yang diwariskan Belanda dan Jepang untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Pancasila sudah berkembang menjadi berbagai tahap semenjak ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945,yaitu :
1.    Tahun 1945-1948
merupakan tahap politis. Orientasi Pancasila diarahkan pada Aand character building. Semangat persatuan dikobarkan demi keselamatan NKRI terutama untuk menanggulangi ancaman dalam negeri dan luar negeri. Di dalam tahap dengan atmosfer politis dominan, perlu upaya memugar Pancasila sebagai dasar negara secara ilmiah filsafati. Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandangan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang dalam karya-karyanya ditunjukkan segi ontologik, epismologik dan aksiologiknya sebagai raison d’etre bagi Pancasila (Notonagoro, 1950)
Resonansi Pancasila yang tidak bisa diubah siapapun tecantum pada Tap MPRS No. XX/MPRS/1966. Dengan keberhasilan menjadikan “Pancasila sebagai asas tunggal”, maka dapatlah dinyatakan bahwa persatuan dan kesatuan nasional sebagai suatu state building.
2.    Tahun 1969-1994
merupakan tahap pembangunan ekonomi sebagai upaya mengisi kemerdekaan melalui Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I). Orientasinya diarahkan pada ekonomi, tetapi cenderung ekonomi menjadi “ideologi”
Secara politis pada tahap ini bahaya yang dihadapi tidak sekedar bahaya latent sisa G 30S/PKI, tetapi efek PJP 1 yang menimbulkan ketidakmerataan pembangunan dan sikap konsumerisme. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial yang mengancam pada disintegrasi bangsa.
Distorsi di berbagai bidang kehidupan perlu diantisipasi dengan tepat tanpa perlu mengorbankan persatuan dan kesatuan nasional. Tantangan memang trerarahkan oleh Orde Baru, sejauh mana pelakasanaan “Pancasila secara murni dan konsekuen” harus ditunjukkan.
Komunisme telah runtuh karena adanya krisis ekonomi negara “ibu” yaitu Uni Sovyet dan ditumpasnya harkat dan martaba tmanusia beserta hak-hak asasinya sehingga perlahan komunisme membunuh dirinya sendiri. Negara-negara satelit mulai memisahkan diri untuk mencoba paham demokrasi yang baru. Namun, kapitalisme yang dimotori Amerika Serikat semakin meluas seolah menjadi penguasa tunggal. Oleh karena itu, Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya sekedar dihantui oleh bahaya subversinya komunis, melainkan juga harus berhadapan dengan gelombang aneksasinya kapitalisme.

3.    Tahun 1995-2020
Merupakan tahap “repostioning” Pancasila. Dunia kini sedang dihadapkan pada gelombang perubahan yang cepat sebagai implikasi arus globalisasi. Globalisasi sebagai suatu proses pada hakikatnaya telah berlangsung jauh sebelum abad ke-20 sekarang, yaitu secara bertahap, berawal “embrionial” di abad 15 ditandai dengan munculnyanegara-negara kebangsaan, munculnya gagasan kebebasan individu yang dipacu jiwa renaissance dan aufklarung. Hakikat globalisasi sebagai suatu kenyataan subyektif menunjukkan suatu proses dalam kesadran manusia yang melihat dirinya sebagai partisipan dalam masyarakat dunia yang semakin menyatu, sedangkana kenyataan obyektif globlaisasi merupakan proses menyempitnya ruang dan waktu, “menciutnya” dunia yang berkembang dalam kondisi penuh paradoks.
Menghadapi arus globalisasi yang semakin pesat, keurgensian Pancasila sebagai dasar negara semakin dibutuhkan. Pancasila dengan sifat keterbukaanya melalui tafsir-tafsir baru kita jadikan pengawal dan pemandu kita dalam menghadapi situasi yang serba tidak pasti. Pancasila mengandung komitmen-komitmen transeden yang memiliki “mitosnya” tersendiri yaitu semua yang “mitis kharismatis” dan “irasional” yang akan tertangkap arti bagi mereka yang sudah terbiasa berfikir secara teknis-positivistik dan pragmatis semata.

1 comment:

  1. info yang bagus gan !
    semoga bermanfaat

    segera daftarkan diri di kompetisi cerdas cermat online .
    karna hadiahnya menarik !!!

    ReplyDelete